JAKARTA - Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Mataloko di Kabupaten Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur, menjadi bukti nyata upaya menuju kemandirian energi di wilayah timur Indonesia. Dengan kapasitas 2x10 megawatt (MW), proyek ini tidak hanya menopang kebutuhan listrik tetapi juga menjadi simbol transisi menuju energi baru terbarukan.
Kehadiran proyek ini sejalan dengan meningkatnya kebutuhan listrik seiring pertumbuhan ekonomi dan geliat pariwisata di Pulau Flores yang kian pesat. PLTP Mataloko diproyeksikan menjadi tulang punggung sistem kelistrikan di wilayah Nusa Bunga yang selama ini memiliki cadangan daya terbatas.
Namun, di balik semangat pembangunan tersebut, muncul pula beragam pandangan dari masyarakat dan kelompok lingkungan. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan gereja lokal terus menyoroti isu lingkungan sebagai dampak yang perlu diantisipasi sejak dini.
Salah satu perhatian utama adalah fenomena munculnya manifestasi panas bumi berupa semburan lumpur panas di sekitar area proyek. Manifestasi panas bumi ini muncul di kawasan Desa Ulubelu, Mataloko, tidak jauh dari kebun warga yang menjadi bagian dari area pengembangan proyek.
Fenomena tersebut sebenarnya menjadi tanda keberadaan sistem geotermal aktif di bawah permukaan tanah. PLN telah melakukan pembebasan lahan di titik-titik yang menjadi lokasi manifestasi untuk memastikan keamanan serta keselamatan warga sekitar.
Marselus Gone, warga Desa Wogo berusia 40 tahun, menjadi contoh warga yang tetap produktif di sekitar wilayah tersebut. Ia memanfaatkan lahan PLN di dekat manifestasi dengan menanam sayur dan berbagai tanaman hortikultura.
“Jadi tidak ada cerita gara-gara geothermal ini tanaman tidak tumbuh, debit air kurang. Ini buktinya, sayuran ini tumbuh, padahal ini hanya 30-40 meter dari lokasi manifes,” ujarnya pada akhir pekan lalu.
Dampak Ekonomi dan Sosial: Warga Rasakan Manfaat Langsung dari Proyek
Selain aspek lingkungan, proyek PLTP Mataloko juga membawa dampak ekonomi yang signifikan bagi masyarakat sekitar. Warga yang sebelumnya tidak memiliki pekerjaan kini bisa terlibat dalam proses pembangunan dan mendapatkan penghasilan yang lebih stabil.
Emerensiana Wawo, Ketua Lingkungan di Desa Ulubelu berusia 60 tahun, mengatakan sebagian besar lahan yang dibebaskan PLN bukan lahan produktif. Banyak di antaranya berupa tebing berbatu dan area yang sulit digarap oleh warga.
“Ada yang lokasinya hanya batu-batu dan ilalang. Sulit untuk digarap, tapi dibeli PLN. Mereka kemudian bisa membangun rumah adat, membeli kendaraan, termasuk untuk membiayai anak sekolah,” tuturnya.
Sejak proyek dimulai pada 2022, masyarakat setempat mulai merasakan manfaat langsung dalam kehidupan sehari-hari. Anak muda yang sebelumnya menganggur kini dapat bekerja di proyek dengan upah yang layak.
“Anak muda yang dulu duduk-duduk saja berkat proyek ini dapat kerja dan membantu ekonomi keluarga,” ujarnya.
Selain itu, pembangunan infrastruktur turut meningkatkan konektivitas antarwilayah. Jalan baru yang dibangun mempermudah warga mengangkut hasil kebun ke pasar di Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada.
Emerensiana berharap proyek PLTP Mataloko segera rampung agar manfaat listriknya dapat dirasakan oleh seluruh warga Flores. “Jangan sampai kami yang tua-tua ini tidak bisa melihat hasilnya. Itu harapan saya,” ucapnya.
Perjalanan Panjang PLTP Mataloko: Dari Mati Suri hingga Bangkit Kembali
Proyek PLTP Mataloko telah melalui perjalanan panjang yang penuh tantangan. Pembangunan pembangkit ini pertama kali dimulai pada 1999 ketika Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral (DJGSM) melakukan pengeboran tujuh sumur eksplorasi.
Empat tahun kemudian, pada 2006, PLN memulai tahap konstruksi pembangkit yang akhirnya beroperasi pada 2010. Namun, pengoperasian itu tidak berlangsung lama karena turunnya tekanan uap hingga 3,2 bar menyebabkan pembangkit berhenti beroperasi.
Setelah sempat mati suri, PLN kembali mendapatkan mandat untuk melanjutkan proyek melalui Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 5009 K/30/MEM/2016. Langkah ini menjadi awal dari kebangkitan kembali PLTP Mataloko setelah melalui serangkaian studi kelayakan dan konsultasi publik.
Bobby Robson Sitorus, Manager Perizinan dan Komunikasi PLN UIP Nusa Tenggara, menjelaskan bahwa tahapan pra-konstruksi dimulai kembali pada 2022. “Mulai dari perizinan izin lingkungan, kesesuaian ruang, izin prinsip, hingga kehutanan, semuanya sudah tercapai pada 2021–2022,” ujarnya di Mataloko.
Bobby menambahkan bahwa pembebasan lahan telah selesai dilakukan sepanjang 2022 hingga 2024. Tahun ini, PLN fokus pada pembangunan infrastruktur seperti jalan sepanjang tujuh kilometer dan penyelesaian empat wellpad, yakni A, B, C, dan D.
“Sampai saat ini, pengadaan tanah sudah 100%, perizinan juga 100%, sementara progres konstruksi infrastruktur sudah mencapai sekitar 89%,” jelasnya.
Ia optimistis seluruh pembangunan infrastruktur akan rampung pada akhir tahun ini. Setelah itu, persiapan pengeboran akan dimulai dengan waktu pengerjaan sekitar enam bulan untuk setiap wellpad.
Dengan demikian, penyelesaian dua wellpad diperkirakan memakan waktu satu tahun penuh. PLN menargetkan proyek ini dapat mencapai tahap operasi komersial atau COD pada 2027 mendatang.
“Ya, memang cukup mepet waktunya. Proyek pembangkit biasanya butuh waktu sekitar 15–18 bulan, jadi kira-kira dua setengah sampai tiga tahun secara total,” katanya.
PLTP Mataloko, Penopang Baru Sistem Kelistrikan Flores
Apabila proyek ini tuntas, PLTP Mataloko akan menjadi penguat utama pasokan listrik di Kabupaten Ngada dan seluruh Pulau Flores. Daya listrik yang tersedia di Flores saat ini hanya sekitar 104,2 MW, dengan beban puncak mencapai 97 MW.
Kapasitas cadangan listrik yang tersedia hanya sekitar 7–8 MW, jumlah yang sangat tipis untuk menopang pertumbuhan konsumsi energi. Di Kabupaten Ngada sendiri, beban puncak mencapai 5 MW dan sebagian besar masih bergantung pada pasokan dari daerah lain.
Sumber energi lokal seperti Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Ogi dan Waeroa hanya menghasilkan 0,1 MW dan 0,2 MW. Kondisi ini membuat kehadiran PLTP Mataloko menjadi sangat penting dalam menjaga kestabilan pasokan listrik.
“Kalau tidak dimulai sekarang, beban kita semakin tinggi dan kapasitas pembangkit semakin tidak terkejar. Butuh waktu 6–7 tahun bagi PLTP bisa beroperasi, itu best practice-nya,” ujar Bobby menegaskan.
PLTP Mataloko diharapkan menjadi proyek strategis yang memperkuat ketahanan energi dan mendukung transformasi menuju energi bersih. Dengan sumber daya panas bumi yang melimpah di Flores, proyek ini juga membuka peluang pengembangan ekonomi baru berbasis energi terbarukan.
Pembangunan pembangkit ini diharapkan tidak hanya mengatasi krisis kelistrikan, tetapi juga menjadi model pengelolaan energi bersih yang berkelanjutan di Indonesia Timur. PLN menegaskan komitmennya untuk memastikan semua proses berjalan dengan prinsip keselamatan dan keberlanjutan lingkungan.
Dalam jangka panjang, keberadaan PLTP Mataloko diyakini dapat menjadi tonggak bagi swasembada energi di Pulau Flores. Dengan dukungan masyarakat dan pemerintah daerah, proyek ini diharapkan menjadi titik terang menuju masa depan energi hijau di kawasan timur Indonesia.